Kiai
Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai
Latifah, pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab
Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan
bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak
kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala
permainan.
Silsilah Keturunan
K.H.
Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu
dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai
Soichah.
Pendidikan
Masa
pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak
dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara
intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena
tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu
agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu
diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan
sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur
dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur
dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara
hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali
dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah
membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan
tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari
kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah
sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in,
Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar
Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan
yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa
kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung
oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau
untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren
lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus
di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini
terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah
jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah
pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut
(Mashyuri, 2008:83).
Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada
tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama
Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten
Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun
1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib.
Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama.
Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada
tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan
perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun
tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya
meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun
pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri
ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama
tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari
sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah,
putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat
orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang
sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun
lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal
dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan
seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini
beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh
anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari
sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang,
banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena
setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini
dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan
inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji
bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai
empat orang anak.
Pernikahan
belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan
Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai
Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau.
Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu
Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84
dan Aceh, 1957:125-126).
Wafat
K.H.
Abdul Wahab Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul Ulama
sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar
terakhir yang diikutinya. Khutbah al-iftitah muktamar yang lazim
dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada K.H. Bisri Syansuri
yang biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai Rais Aam untuk
membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan muktamar dalam
keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata yang
menyebabkan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya,
tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12 Dzulqa’idah
1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di kediamannya,
Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri,
2008:107).