By: Nafi Ali Alawi
KARTIKA NEWS - Selimut asap menyambut pagiku, pagi yang di penuhi asap
yang mematikan. Asap itu diciptakan oleh si jago merah yang hingga sekarang
telah menyebar menutupi kota ini. Asap ini sudah menyatu dengan hidupku yang
disertai jeritan rakyat yang meminta penguasa untuk turun tangan menangani si
jago merah yang meraja lela melahap ladang dan hutan kami.
Dulunya kotaku adalah kota yang bebas dari asap, asap
kendaraan maupun asap industri rumah tangga, tapi takdir tak bisa di pungkiri, seorang
bertopeng hitam telah melepas jago merah begitu saja di tengah rumput yang gersang dan daun daun
yang kering demi kepentingan pribadinya. Aku tak menyangka perestiwa ini akan
terjadi, sehingga pasukan penyakit pernafasan menyebar di kota ini .
Pupil mataku menangkap tajam seorang lelaki putih beseragam
oren yang sedang melihat gumpalan api dan asap yang sedang memakan dan menutupi
lading hutan ini, "gila masak udah menyebar sampai secepat ini...? kalau
di biarkan ini bisa gawat, memang benar kata orang tua dulu, bila kecil jadi
kawan, kalau besar jadi musuh!! aku harus segera pergi ke markas untuk memberi
tahu kepeda komandan". ujar relawan itu saat berdiri melihat peristiwa ini
dengan terheran heran. Lalu relawan itu langsung melesat pergi dengan motornya
seperti kilauan kilat.
Namaku sohib, aku adalah salah satu dari ribuan korban
PENYAKIT ISFA akibat ulah kelompok bertopeng hitam yang melepaskan si jago
merah di hutan dan ladang. Kedua teman ku juga menjadi korban penyakit isfa
ini, mereka bernama Sufron dan Aryan.
Aku pun tak diam diri melihat hutan plasma nutfan kami di
mangsa jago merah. Aku, Sufron dan Aryan mencoba mendekati si jago merah untuk
mematikan si jago merah itu dengan daun daun di sekitar. Setelah setegah jam
kami melakukan pertolongan pertama pada hutan plasma nutfah ini, tapi apa daya
yang kami lakukan dengan tangan tangan mungil ini .Walaupun usaha kami tak
berhasil, tapi kami tak kan putus asa untuk membantu pemerintah dalam
menyelesaikan masalah ini.
Matahari pun mulai turun dari singa sananya, menandakan
bahwa hari sudah mulai petang. Aku, Sufron dan Aryan meningalkan hutan plasma
nutfah ini dan pulang ke istana masing masing. Kami pulang bersama tapi
sesampainya di pertigaan kami pun berpisah karena rumah Sufron dan Aryan lumayan
jauh dari rumahku sehingga kami harus berpisah disini.
"Ron , Yan jangan lupa besok pagi kumpul di sini lagi
untuk menjalankan misi menyelamatkan hutan plasma nutfah kita".
"Oke" jawab Sufron dan Aryan dengan suara lemas.
Aku pun pulang ke rumah dengan membawa rasa letih dan bau
asap yang menempel pada badan ini. Sesampainya di rumah aku pun langsung
membersihkan rasa letih dan bau asap ini dengan mandi. Setelah selesai mandi
aku pun duduk di kursi ruang tamu dan melihat dari layar kaca tv tua, pemerintah
sedang mengoceh membicarakan perestiwa yang sedang menimpa kota kami ini.
"Kami akan membantu masyarakat dalam mengatasi masalah kabut asap ini,
kami akan kerahkan TNI ,POLRI, SAR dan kami juga akan menyemprotkan air dari
langit untuk memadamkan titik api yang sulit di padamkan, dengan
mengunakan helikopter". Ujar pemerintah
dengan wibawanya di depan wartawan.
Tapi aku tak percaya atas ocehan pemerintah itu untuk
memadamkan api yang meraja lela di hutan dan ladang kami, buktinya sampai
sekarang masalah si jago merah dan kabut asap ini belum bisa teratasi bahkan
malah semakin banyak titik api yang ada.
Pagi pun datang, aku pergi menuju pertigaan untuk berkumpul
bersama dua temanku untuk membahas misi kami dalam membantu pemerintah
mengatasi kabut asap ini. Setelah aku menunggu satu jam, Sufron dan Aryan pun
tak kunjung datang. Ketika aku ingin beranjak pulang karena kukira Sufron dan Aryan
tak datang, muncullah Aryan dengan berlari lari menuju ke arah ku.
"Hib hib hib" .
"Ada apa kok kamu lari lari yan".
"Gawat!!".
"Apanya yang gawat??!!".
"Itu Sufron kena penyakit peradangan pernafasan dan di
bawa ke rumah sakit "
"Apa???????". Jawab ku dengan kaget.
Aku dan Aryan pun langsung pergi ke rumah sakit tempat Sufron
di rawat. Ketika sampai di rumah sakit aku langsung bertanya kepada suster yang
ada di tempat administrasi.
"Sus sus, saya mau tanya dimana kamar tempat Ahmad
Sufron di rawat".
"Adik ini siapanya".
" Saya temannya ".
"Oh, tuggu sebentar. Nomer kamarnya 13 tapi jangan
brisik ketika disana".
"Baik sus, terima kasih".
"Sama-sama".
Ketika sudah tahu nomer kamar tempat sufron di rawat aku
dan Aryan langsung berlari mencari kamar tersebut, sesampainya di ujung lorong
terlihat orang tua Sufron yang sedang menangis.
"Hib itu orang tua Sufron mungkin itu kamar tempat Sufron
dirawat".
"Iya itu orang tua Sufron, tapi kok aneh ya malah
mereka menangis". ujar ku kepada Aryan dengan seribu kata pertanyaan di
otak ku melihat orang tua Sufron menangis.
Dalam hatiku timbul perasaan tidak enak pada kondisi Sufron,
ketika sampai di tempat orang tua Sufron duduk ternyata lensa mataku membaca
huruf di atas pintu yang bertuliskan "KAMAR JENAZAH". Pada saat itu
hatiku bertanya tanya siapa yang ada di dalam kamar jenazah itu. Aku pun
bertanya kepada orang tua Sufron .
"Pak pak!! siapa yang ada di dalam kamar jenazah
tersebut".
"Di dalam adalah Sufron yang sudah tak bernyawa".
jawab Ayah Sufron dengan air mata yang menghiasi pipinya.
Ketika mendengar berita dari mulut Ayah Sufron bila anaknya
sudah meninggal, Aryan pun langsung pingsan dan aku pun langsung gemetar dan
lemas, kemudian mataku langsung mengeluarkan air mata kesedihan. Aku pun masuk
ke kamar jenazah untuk melihat tubuh kawan kami yang sudah tiada.
Setelah
Aryan sudah sadar dari pingsannya aku mengajak Aryan
untuk pulang. Kami pulang dengan membawa rasa kesedihan di hati kami
yang
kehilangan kawan terbaik kami, saat aku dan Aryan berjalan menuju
rumah, kami melihat bendera kuning di depan rumah pak mustar, aku
pun bertanya kepada orang yang baru saja dari dalam rumah pak mustar.
"Bu siapa yang meninggal .??"
"Anak nya pak mustar yang baru berumur 28 hari".
"Kenapa kok bisa meninggal??".
"Kata dokter yang memeriksa anak pak mustar, dikarenakan
banyak menghirup asap".
Apakah pemerintah akan diam diri melihat rakyatnya mati
satu persatu, mau berapa banyak lagi nyawa yang akan di rampok olah asap ini .
Pemerintah hanya bisa ngomong dibalik layar kaca bahwa
dirinya akan menyelamatkan nyawa- nyawa ini yang sedang diserang olah pedang,
tombak, meriam, panah dari asap yang mampu membunuh secara brutal.
Hari demi hari asap yang mengepung kota ini tak kunjung
berkurang malah makin tebal, jarak pandang makin menipis karena terhalang asap
sialan ini. Setiap harinya korban dari kabut asap ini semakin bertambah, banyak
orang yang terserang penyakit isfa dan ada juga yang sampai ujung maut. Kenapa pemerintah
bisa tenang melihat rakyatnya yang sedang diterjang mara bahaya ini.
Banyak keluhan keluhan masyarakat yang sering kulihat di
jalanan berupa poster, media sosial dan televisi, beberapa usaha sudah kami
lakukan salah satunya yaitu solat minta hujan tapi usaha tersebut belum membuahkan hasil. Ada poster yang aku
lihat di jalan hasil karya suara keluhan- keluhan tersebut yaitu, "kami ingin paru paru kami diisi dengan
udara bersih bukan asap yang AKAN merengut nyawa kami".
" kami kangen oksigen kami
bosan dengan asap ini".
"Selamatkanlah
nyawa nyawa yang terancam ini"
Itulah keluhan-keluhan masyarakat yang ditujukan kepada
pemerintah, bukan hanya omongan saja tapi juga harus dibuktikan. Semua tindakan
pemerintahpun tak membuahkan hasil
sedikitpun. Kecuali Allah yang berkehendak menyudahi ujian ini dengan
menurunkan hujan dari kayangan untuk meredakan emosi si jago merah ini. Semoga
Allah memberi anugerah supaya masalah ini cepat reda amin.
#SaveRiau